Minggu, 12 Juni 2011

IUFD (Intra Uterine Fetal Death

by Dina Indrati DS. MKep.SpKepMat 
 
IUFD (Intra Uterine Fetal Death) adalah kematian yang terjadi saat usia kehamilan lebih dari 20 minggu dimana janin sudah mencapai ukuran 500 gram atau lebih ( Everett, 2001;bLindesey,2010 ). Sedangkan menurut Sarwono (2005) IUFD adalah kematian hasil konsepsi sebelum dikeluarkan dengan sempurna dari rahim ibunya tanpa memandang tuanya kehamilan. World Health Organization (WHO) mendefinisikan KJDK (Kematian Janin Dalam Kandungan) sebagai kematian konsepsi sebelum keluar secara lengkap (complete expulsion) atau ekstraksi dari  ibu, tanpa memandang tua kehamilan. Secara umum KJDK dikelompokkan dalam 4 kategori yaitu kurang dari 20 minggu (early fetal death), 20-28 minggu, lebih dari 28 minggu (late fetal death) dan tidak terkategorikan (Orshan,2008).

Menurut  Siddiqui & Kean ( 2008 ) kematian janin dalam kandungan dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:
1.      Fetal yang menjadi  penyebab 25-40%
Anomali atau malformasi kongenital mayor adalah Neural tube defek, hidrops, hidrosefalus, kelainan jantung congenital. Kelainan kromosom termasuk penyakit bawaan. Kematian janin akibat kelainan genetik biasanya baru terdeteksi saat kematian sudah terjadi, melalui otopsi bayi. Sedangkan  kelainan konginetal ( bawaan ) bayi yang bisa mengakibatkan kematian janin adalah hidrops fetalis, yakni akumulasi cairan dalam tubuh janin. Jika akumulasi cairan terjadi dalam rongga dada bisa menyebabkan hambatan nafas bayi. Kerja jantung menjadi sangat berat akibat dari banyaknya cairan dalam jantung sehingga tubuh bayi mengalami pembengkakan atau terjadi kelainan pada paru-parunya. Janin yang hiperaktif, gerakan janin yang berlebihan apalagi hanya pada satu arah saja bisa mengakibatkan tali pusat yang menghubungkan ibu dengan janin terpelintir. Akibatnya, pembuluh darah yang mengalirkan suplai oksigen maupun nutrisi melalui plasenta ke janin akan tersumbat. Hingga saat ini kondisi tali pusat terpelintir atau tersimpul tidak bisa terdeteksi.
2.      Plasenta yang menjadi penyebab 25-35%
Penyebab kematian janin dalam kandungan yang berkaitan dengan plasenta antara lain adalah adanya kerusakan pada tali pusat, infark plasenta, infeksi plasenta dan selaput ketuban, plasenta previa, solusio plasenta, perdarahan janin ke ibu.
3.      Maternal yang menjadi penyebab 5-10%
Faktor maternal yang dapat menyebabkan kematian janin dalam kandungan adalah diabetus mellitus, hipertensi, trauma, kelahiran abnormal, sepsis, asidosis/hipoksia, rupture uterus, obat-obatan, kehamilan lewat waktu, anemia berat.
4.      Tidak dapat dijelaskan penyebabnya sebesar 10%

Menurut Wiknjosastro (2002) klasifikasi  IUFD dapat dibagi menjadi 4 golongan yaitu: Golongan I: kematian sebelum massa kehamilan mencapai 20 minggu penuh, Golongan II: kematian sesudah ibu hamil 20-28 minggu , golongan III: kematian sesudah masa kehamilan > 28 minggu( late fetal death), golongan IV: kematian yang tidak dapat digolongan pada ketiga golongan di atas.

Bila janin mati dalam kehamilan yang telah lanjut maka akan terjadi perubahan. Perubahan-perubahan tersbut adalah sebagai berikut 1) Rigor mostis (tegang mati), berlangsung 2,5 jam setelah mati, kemudian lemas kembali. 2) Stadium maserasi I: yaitu timbul lepuh-lepuh pada kulit, mula-mula terisi cairan jernih tapi kemudian menjadi merah. Stadium ini berlangsung 48 jam setelah mati. 3) Stadium maserasi II: yaitu lepuh-lepuh pecah dan mewarnai air ketuban menjadi merah coklat, stadium ini berlangsung 48 jam setelah anak mati.4) Stadium maserasi III yaitu terjadi kira-kira 3 minggu setelah anak mati. Badan janin sangat lemas, hubungan  antara  tulang-tulang  sangat   longgar  dan  terdapat   oedem dibawah   kulit ( Acdiat,2004).

Pada kilen dengan IUFD dari anamnesa akan didapatkan data, klien tidak merasakan gerakan anak, klien merasa kandungan tidak bertambah besar malah mengecil terjadi penurunan berat badan dan terjadi perubahan pada payudara dimana payudara tidak lagi mengencang serta berkurangnya nafsu makan. Sedangkan pada pemeriksaan fisik akan didapatkan denyut jantung janin tidak terdengar ,uterus tidak membesar, fundus uteri turun, pergerakan anak tidak teraba lagi oleh pemeriksa dan palpasi anak menjadi tidak jelas ( Achdiat,2004)

Pemeriksaan dengan ultrasonografi, pada klien dengan IUFD tidak ditemukan adanya gerakan janin serta tampak ruang bekuan darah pada ruang jantung janin. Sedangkan pada pemeriksan rontgen dapat dilihat adanya tulang tengkorak yang saling menutupi ( tanda spalding),tulang punggung janin sangat melengkung ( tanda Naujokes), kondisi hiperekstensi kepala tulang leher janin ( tanda Gerhard) serta adanya gelembung –gelembung gas pada pembuluh darah besar( tanda Robert) (Orshan,2008).

Kematian janin dapat menyebabkan desidua plasenta menjadi rusak sehingga menghasilkan tromboplastin yang dapat masuk kedalam peredaran darah klien seningga mengganggu pembekuan intravaskuler. Gangguan pembekuan dimulai dari endotel pembuluh darah oleh trombosit sehingga terjadi DIC yang menyebabkan hipofibrinogenemia ( kadar fibrinogen< 100 mg%). Kadar normal fibrinogen pada wanita adalah hamil  300-700mg%. Akibat kekurangan fibrinogen maka dapat terjadi hemoragik post partum ( Suheimi,2007).

Kehilangan dan kematian adalah peristiwa dari pengalaman manusia yang bersifat universal dan unik secara individual. Hidup adalah serangkaian kehilangan dan pencapaian. Mekanisme koping mempengaruhi kemampuan seseorang untuk menghadapi dan menerima kehilangan. Duka cita adalah respons alamiah terhadap kehilangan. Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam lingkungan kehidupan kita sehari-hari (Potter&perry, 2005)

Sabtu, 11 Juni 2011

DISCHARGE PLANNING



Pengertian :

Discharge Planning adalah suatu proses dimana mulainya pasien mendapatkan pelayanan kesehatan yang diikuti dengan kesinambungan perawatan baik dalam proses penyembuhan maupun dalam mempertahankan derajat kesehatannya sampai pasien merasa siap untuk kembali ke lingkungannya. Discharge Planning menunjukkan beberapa proses formal yang melibatkan team atau memiliki tanggung jawab untuk mengatur perpindahan sekelompok orang ke kelompok lainnya (RCP,2001). Perawat/Bidan adalah salah satu anggota team Discharge Planner, dan sebagai discharge planner perawat/bidan mengkaji setiap pasien dengan mengumpulkan dan menggunakan data yang berhubungan untuk mengidentifikasi masalah actual dan potensial, menentukan tujuan dengan atau bersama pasien dan keluarga, memberikan tindakan khusus untuk mengajarkan dan mengkaji secara individu dalam mempertahankan atau memulihkan kembali kondisi pasien secara optimal dan mengevaluasi kesinambungan asuhan keperawatan / asuhan kebidanan. Merupakan usaha keras perawat demi kepentingan pasien untuk mencegah dan meningkatkan kondisi kesehatan pasien, dan sebagai anggota tim kesehatan, perawat/bidan berkolaborasi dengan tim lain untuk merencanakan, melakukan tindakan, berkoordinasi dan memfasilitasi total care dan juga membantu pasien memperoleh tujuan utamanya dalam meningkatkan derajat kesehatannya.

Tujuan Discharge Planning:

Tujuan dari discharge planning adalah meningkatkan kontinuitas, kualitas perawatan dan memaksimalkan manfaat sumber pelayanan kesehatan. Discharge Planning dapat  mengurangi hari rawatan pasien, mencegah kekambuhan, mencegah komplikasi, meningkatkan perkembangan kondisi kesehatan pasien dan menurunkan beban perawatan pada keluarga dapat dilakukan melalui Discharge Planning ( Naylor, 1990 ). Menurut Mamon et al (1992), pemberian discharge planning dapat meningkatkan kemajuan pasien, membantu pasien untuk mencapai kualitas hidup optimum disebelum dipulangkan, beberapa penelitian bahkan menyatakan bahwa discharge planning memberikan efek yang penting dalam menurunkan komplikasi penyakit, pencegahan kekambuhan dan menurunkan angka mortalitas dan morbiditas (Leimnetzer et al,1993: Hester, 1996)
Seorang Discharge Planners bertugas membuat rencana, mengkoordinasikan dan memonitor dan memberikan tindakan dan proses kelanjutan perawatan (Powell,1996). Discharge planning ini menempatkan perawat/bidan pada posisi yang penting dalam proses pengobatan pasien dan dalam team discharge planner rumah sakit, pengetahuan dan kemampuan perawat/bidan dalam proses keperawatan dapat memberikan kontinuitas perawatan melalui proses discharge planning ( Naylor,1990 ) . Perawat/bidan dianggap sebagai seseorang yang memiliki kompetensi lebih dan punya keahlian dalam melakukan pengkajian secara akurat, mengelola dan memiliki komunikasi yang baik dan menyadari setiap kondisi dalam masyarakat. (Harper, 1998 ).

Keuntungan Discharge Planning :

Bagi Pasien :
-    Dapat memenuhi kebutuhan pasien
-    Merasakan bahwa dirinya adalah bagian dari proses perawatan sebagai bagian yang aktif dan bukan objek yang tidak berdaya.
-    Menyadari haknya untuk dipenuhi segala kebutuhannya
-    Merasa nyaman untuk kelanjutan perawatannya dan memperoleh support sebelum timbulnya masalah.
-    Dapat memilih prosedur perawatannya
-    Mengerti apa yang terjadi pada dirinya dan mengetahui siapa yang dapat dihubunginya.

Bagi Perawat/bidan :
-    Merasakan bahwa keahliannya di terima dan dapat di gunakan
-    Menerima informasi kunci setiap waktu
-    Memahami perannya dalam system
-    Dapat mengembangkan ketrampilan dalam prosedur baru
-    Memiliki kesempatan untuk bekerja dalam setting yang berbeda dan cara yang berbeda.
-    Bekerja dalam suatu system dengan efektif.

Justifikasi Metode Discharge Planning:

Di Indonesia semua pelayanan keperawatan di Rumah Sakit , telah merancang berbagai bentuk format Discharge Planning, namun discharge planning kebanyakan dipakai hanya dalam bentuk pendokumentasian resume pasien pulang, berupa informasi yang harus di sampaikan pada pasien yang akan pulang seperti intervensi medis dan non medis yang sudah diberikan, jadwal kontrol, gizi yang harus dipenuhi setelah dirumah. Cara ini merupakan pemberian informasi yang sasarannya ke pasien dan keluarga hanya untuk sekedar tahu dan mengingatkan, namun tidak ada yang bisa menjamin apakah pasien dan keluarga mengetahui faktor resiko apa yang dapat muncul pada pasien masa nifas dan bayinya, penanganan apa yang dilakukan bila terjadi kegawatdaruratan terhadap kondisi ibu dan bayi,  untuk itu pelaksanaan discharge planning di rumah sakit sangat penting dimana akan memberikan proses deep-learning pada pasien masa nifas, hingga terjadinya perubahan perilaku pasien dan keluarganya dalam memaknai kondisi pasca melahirkan.

.
Reference :



Harper E.A. (1998). Discharge planning: An interdisciplinary method. Silverberg Press:
Chicago, IL.
New Brunswick Department of Health and Wellness (2002). Job definition of a discharge planning coordinator. Author: Fredericton, NB.

C. Levine, (1998) Rough Crossings: Family Caregivers’Odysseys through the Health Care System (New York: United Hospital Fund of New York City,), p. 35.